Ini adalah rumah adat dari NAD namanya adalah RUMOH
ACEH. Rumah adat ini bertipe rumah panggung dengan 3 bagian utama dan 1
bagian tambahan. Tiga bagian utama dari rumah Aceh yaitu seuramoë keuë (serambi
depan), seuramoë teungoh (serambi tengah) dan seuramoë likôt (serambi
belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya yaitu rumoh dapu (rumah
dapur). Biasanya memiliki ketinggian sekitar 2,5-3 meter dari atas tanah.
Untuk memasukinya harus menaiki beberapa anak tangga. Terdiri dari tiga atau
lima ruangan di dalamnya, untuk ruang utama sering disebut dengan rambat.
Biasanya tinggi pintu sekitar 120 - 150 cm dan membuat siapa
pun yang masuk harus sedikit merunduk. Makna dari merunduk ini menurut
orang-orang tua adalah sebuah penghormatan kepada tuan rumah saat memasuki
rumahnya, siapa pun dia tanpa peduli derajat dan kedudukannya. Selain itu juga,
ada yang menganggap pintu rumoh Aceh sebagai hati orang Aceh. Hal ini terlihat
dari bentuk fisik pintu tersebut yang memang sulit untuk memasukinya, namun
begitu kita masuk akan begitu lapang dada disambut oleh tuan rumah.Saat berada
di ruang depan ini atau disebut juga dengan seuramoe keu/seuramoe reungeun,
akan kita dapati ruangan yang begitu luas dan lapang, tanpa ada kursi dan meja.
Jadi, setiap tamu yang datang akan dipersilahkan duduk secara lesehan di atas
tikar.
Filosofi dan Keunikan Rumoh Aceh
Rumoh
Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan ekspresi keyakinan terhadap
Tuhan dan adaptasi terhadap alam. Adaptasi masyarakat Aceh terhadap
lingkungannya dapat dilihat dari bentuk rumoh Aceh yang berbentuk panggung,
tiang penyangganya yang terbuat dari kayu pilihan, dindingnya dari papan, dan
atapnya dari rumbia. Pemanfaatan alam juga dapat dilihat ketika hendak
menggabungkan bagian-bagian rumah yang tidak menggunakan paku tetapi
menggunakan pasak atau tali pengikat dari rotan. Walaupun hanya terbuat dari
kayu, beratap daun rumbia, dan tidak menggunakan paku, rumoh Aceh bisa bertahan
hingga 200 tahun. Pengaruh keyakinan masyarakat Aceh terhadap arsitektur
bangunan rumahnya dapat dilihat pada orientasi rumah yang selalu berbentuk
memanjang dari timur ke barat, yaitu bagian depan menghadap ke timur dan sisi
dalam atau belakang yang sakral berada di barat. Arah Barat mencerminkan upaya
masyarakat Aceh untuk membangun garis imajiner dengan Ka’bah yang berada di
Mekkah. Selain itu, pengaruh keyakinan dapat juga dilihat pada penggunaan
tiang-tiang penyangganya yang selalu berjumlah genap, jumlah ruangannya yang
selalu ganjil, dan anak tangganya yang berjumlah ganjil.
Selain
sebagai manifestasi dari keyakinan masyarakat dan adaptasi terhadap lingkungannya,
keberadaan rumoh Aceh juga untuk menunjukan status sosial penghuninya. Semakin
banyak hiasan pada rumoh Aceh, maka pastilah penghuninya semakin kaya. Bagi
keluarga yang tidak mempunyai kekayaan berlebih, maka cukup dengan hiasan yang
relatif sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali. Dalam rumoh Aceh, ada
beberapa motif hiasan yang dipakai, yaitu:
- Motif keagamaan yang
merupakan ukiran-ukiran yang diambil dari ayat-ayat al-Quran
- Motif flora yang
digunakan adalah stelirisasi tumbuh-tumbuhan baik berbentuk daun, akar, batang,
ataupun bunga-bungaan. Ukiran berbentuk stilirisasi tumbuh-tumbuhan ini tidak
diberi warna, jikapun ada, warna yang digunakan adalah merah dan hitam. Ragam
hias ini biasanya terdapat pada rinyeuen (tangga), dinding, tulak angen,
kindang, balok pada bagian kap, dan jendela rumah
- Motif fauna yang
biasanya digunakan adalah binatang-binatang yang sering dilihat dan disukai;
Motif alam digunakan oleh masyarakat Aceh di antaranya adalah: langit dan
awannya, langit dan bulan, dan bintang dan laut
- Motif lainnya, seperti
rantee, lidah, dan lain sebagainya.
Wujud
dari arsitektur rumoh Aceh merupakan pengejawantahan dari kearifan dalam
menyikapi alam dan keyakinan (religiusitas) masyarakat Aceh. Arsitektur rumah
berbentuk panggung dengan menggunakan kayu sebagai bahan dasarnya merupakan
bentuk adap tasimasyarakat Aceh terhadap kondisi lingkungannya. Secara
kolektif pula, struktur rumah tradisi yang berbentuk panggung memberikan
kenyamanan tersendiri kepada penghuninya. Selain itu, struktur rumah seperti
itu memberikan nilai positif terhadap sistem kawalan sosial untuk menjamin
keamanan, ketertiban, dan keselamatan warga gampong (kampung). Bagi
masyarakat Aceh, membangun rumah bagaikan membangun kehidupan. Hal itulah
mengapa pembangunan yang dilakukan haruslah memenuhi beberapa persyaratan dan
melalui beberapa tahapan. Persyaratan yang harus dilakukan misalnya pemilihan
hari baik yang ditentukan oleh Teungku (ulama setempat), pengadaan kenduri,
pengadaan kayu pilihan, dan sebagainya. Musyawarah dengan keluarga,
meminta saran kepada Teungku, dan bergotong royong dalam proses pembangunannya
merupakan upaya untuk menumbuhkan rasa kekeluargaan, menanamkan rasa
solidaritas antar sesama, dan penghormatan kepada adat yang berlaku. Dengan
bekerjasama, permasalahan dapat diatasi dan harmoni sosial dapat terus dijaga.
Dengan mendapatkan petuah dari Teungku, maka rumah yang dibangun diharapkan
dapat memberikan keamanan secara jasmani dan ketentraman secara rohani. Tata
ruang rumah dengan beragam jenis fungsinya merupakan simbol agar semua orang
taat pada aturan.
Ada
juga keunikan lainnya dari rumoh Aceh, yakni terletak pada atapnya. Tali hitam
atau tali ijuk tersebut mempunyai kegunaan yang sangat berarti. Saat terjadi
kebakaran misalnya yang rentan menyerang atap, maka pemilik rumah hanya perlu
memotong tali tersebut. Sehingga, seluruh atap yang terhubungan atau terpusat
pada tali hitam ini akan roboh dan bisa meminimalisir dampak dari musibah yang
terjadi. Dalam perkembangannya, masyarakat Aceh memiliki anggapan bahwa
dalam pembuatan rumoh Aceh memiliki garis imajiner antara rumah dan Ka’bah
(motif keagamaan), tetapi sebelum Islam masuk ke Aceh, arah rumah tradisional
Aceh memang sudah demikian. Kecenderungan ini nampaknya merupakan bentuk
penyikapan masyarakat Aceh terhadap arah angin yang bertiup di daerah Aceh,
yaitu dari arah timur ke barat atau sebaliknya. Jika arah rumoh Aceh
menghadap kearah angin, maka bangunan rumah tersebut akan mudah rubuh. Di
samping itu, arah rumah menghadap ke utara-selatan juga dimaksudkan agar sinar
matahari lebih mudah masuk kekamar-kamar, baik yang berada di sisi timur
ataupun di sisi barat. Setelah Islam masuk ke Aceh, arah rumoh Aceh mendapatkan
justifikasi keagamaan. Nilai religiusitas juga dapat dilihat pada jumlah ruang
yang selalu ganjil, jumlah anak tangga yang selalu ganjil, dan keberadaan
gentong air untuk membasuh kaki setiap kali hendak masuk rumoh Aceh.
Adanya
bagian ruang yang berfungsi sebagai ruang-ruang privat, seperti rumoh inong,
ruang publik, seperti serambi depan, dan ruang khusus perempuan, seperti
serambi belakang merupakan usaha untuk menanamkan dan menjaga nilai kesopanan
dan etika bermasyarakat. Keberadaan tangga untuk memasuki rumoh Aceh bukan
hanya berfungsi sebagai alat untuk naik ke dalam rumah, tetapi juga berfungsi
sebagai titik batas yang hanya boleh didatangi oleh tamu yang bukan anggota
keluarga atau saudara dekat. Apabila dirumah tidak ada anggota keluarga
yang laki-laki, maka (pantang dan tabu) bagi tamu yang bukan keluarga dekat
(baca: muhrim) untuk naik ke rumah. Dengan demikian, reunyeun juga memiliki
fungsi sebagai alat kontrol sosial dalam melakukan interaksi sehari-hari antar
masyarakat.
Namun
saat ini, seiring perkembangan zaman yang menuntut semua hal dikerjakan secara
efektif dan efisien serta semakin mahalnya biaya pembuatan dan perawatan rumoh
Aceh, maka lambat laun semakin sedikit orang Aceh yang membangun rumah
tradisional ini. Akibatnya, jumlah rumoh Aceh semakin hari semakin
sedikit. Masyarakat lebih memilih untuk membangun rumah modern berbahan
beton yang pembuatan dan pengadaan bahannya lebih mudah dari pada rumoh Aceh
yang pembuatannya lebih rumit, pengadaan bahannya lebih sulit, dan biaya
perawatannya lebih mahal. Namun, ada juga orang-orang yang karena kecintaannya
terhadap arsitektur warisan nenek moyang mereka ini membuat rumoh Aceh yang
ditempelkan pada rumah beton mereka.